Tantangan yang semakin beragam dan komplek menyelimuti dunia pendidikan nasional. Tantangan tersebut tidak hanya dari internal namun juga eksternal. Dua diantaranya adalah kebijakan pendidikan yang sering berganti dan perkembangan teknologi informasi yang begitu masif sehingga berdampak pada perilaku pelajar saat ini. Perubahan perilaku pelajar yang banyak dipengaruhi oleh industri media sosial menjadi tantangan yang luar biasa. Ditambah dengan semakin permisifnya lingkungan sekitar, masyarakat bahkan negara terkait “ketidaknormalan” perilaku yang terjadi.
Terlebih pada pembelajaran pendidikan agama Islam. Pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran yang sasaran akhirnya adalah menjadikan manusia yang beretika, berkepribadian luhur serta mampu menghadapi tantangan zamannya. Pembelajaran pendidikan agama Islam diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran individu yang memiliki tanggungjawab kehambaan dan tanggungjawab kemanusiaan.
Pada sisi ini pendidikan agama Islam diharapkan mampu sebagai media untuk bagi pelajar agar terbiasa melakukan ritual keagamaan. Disisi yang lain pelajar mampu memperlakukan orang lain/alam semesta dengan penuh penghargaan dan penghormatan.
Kecemasan praktisi pendidikan terkait hal tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan sekolah berbudaya agama. Sekolah dengan budaya agama adalah sekolah yang bukan hanya mampu mengajarkan ritual keagamaan, namun mampu juga menyerap nilai-nilai keagamaan dalam aktifitas keseharian baik di sekolah maupun lingkungan. Hal ini yang mendorong Program Pascasarjana UNIRA Malang, menyelenggarakan workshop Strategi dan Implementasi School Religious Culture (Sekolah berbudaya agama).
Bekerja sama dengan forum musyawarah guru mata pelajaran pendidikan agama Islam, workshop ini diselenggarakan pada 24 September 2024. Kegiatan tersebut diikuti lebih dari 100 peserta yang berasal dari unsur pendidik/pengajar mata pelajaran pendidikan agama Islam di tingkat SMP sekabupaten Malang.
Workshop tersebut menghadirkan 3 pembicara utama, yakni Prof. Dr. Abdul Malik Karim Abdullah, M.Pd.I. (Akademisi sekaligus ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Kabupaten Malang), Dr. Sutomo, M.Sos. (Akademisi dari UNIRA Malang) serta Arianto, M.Pd. ( Ketua Kelompok Kerja Pengawas Pendidikan Agama Islam Kemenag Kabupaten Malang).
Prof. Amka, sapaan akrab Prof. Abdul Malik, menyampaikan materi terkait School Religious Culture. Dalam paparannya beliau menyampaikan terkait perkembangan kognitif keberagamaan peserta didik termasuk hadirnya kesadaran beragama pada anak. Diakhir paparannya beliau juga menyampaikan terkait strategi pembelajaran keagamaan pada peserta didik.
“Agama merupakan kumpulan “ritual yang mengandung sisi supranatural”. Sementara perkembangan kognitif peserta didik mengarah pada sesuatu yang sifatnya rasional. Oleh sebab itu, pembelajaran agama harus disampaikan dengan pikiran terbuka, jujur dan objektif sehingga dapat diterima dengan pikiran rasional. Salah satunya adalah dengan memberikan informasi terkait konsekwensi dari pilihan dan perbuatan yang dilakukan. Beragama merupakan salah satu dari pilihan atas konsekwensi yang akan diterima”. Jelas Prof Amka.
“ Sekolah harus mendesain bagaimana beragama yang mempercayai hal supranatural yang sifatnya gaib bisa diterima dengan logika sederhana siswa siswi kita, kemudian ajarilah mereka berusaha untuk menjalaninya secara total (kaffah), kemudian ajak mereka untuk pasrah kepada entitas Supranatural yaitu Allah SWT”. Pungkasnya
Sementara itu Dr. Sutomo, M.Sos. atau sering disapa dengan Cak Tomo menyampaikan materi terkait moderasi beragama. Menurutnya, moderasi beragama khususnya di lembaga pendidikan formal harus dikenalkan kepada pelajar. Pelajar harus mulai dibiasakan dengan banyaknya keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Keragaman itu meliputi keragaman suku, rasa, budaya, agama, strata sosial dan sebagainya. Keragaman harusnya mampu memperkaya perspektif dan pandangan dalam berinteraksi dengan sesama.
Mengawali presentasinya cak Tomo menyitir Q.S. Al Hujurat ayat 13 “ Wahai manusia, Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”. Selain itu, awal melakukan edukasi penyadaran terkait moderasi beragama dilembaga pendidikan & guru terkhusus guru PAI bertanggungjawab dalam hal ini.
“Keragaman ini harus dikelola dengan baik dan tidak menjadi sumber perselisihan/konflik antar warga negara. Keragaman bangsa dan suku adalah bagian skenario Allah SWT, yang semestinya dapat dijadikan sebagai media yang dapat saling melengkapi dan menyempurnakan”, paparnya.
Untuk itulah sekolah didorong untuk menyusun kurikulum pembelajaran yang mampu menumbuhkan sikap menghargai, kerjasama dan toleransi antar sesama warga sekolah. Salah satu kegiatan dalam menumbuh sikap moderasi adalah projek penguatan profil pelajar pancasila. (Hum/elk24)